Tradisi membuat ketupat lebaran, konon muncul bukan karena Iedul Fithrinya, tapi adanya hari raya ketupat yang diadakan 7 hari setelah Ied. Hari raya ini, menurut cerita, dicetuskan oleh Sunan Kali Jaga sebagai perayaan setelah shaum sunah Syawal. Ketupat dibuat untuk diberikan kepada kerabat. Filosofinya, kata “kupat” adalah akronim dari “ngaku lepat” dalam bahasa Jawa yang artinya mengaku bersalah. Dengan begitu, kupat tidak hanya sebagai bawaan saat berkunjung tapi juga simbol permohonan maaf. Namun demikian, tidak ada data valid mengenai hal ini.
Meskipun katanya tradisi ini memiliki akar sejarah dan filosofi, akan tetapi untuk menghukuminya sebagai bidah atau tidak, kita perlu merujuk kepada apa sebenarnya bidah itu?
Imam asy Syatibi dalam al I’thisham menjelaskan bahwa bidah adalah suatu cara baru dalam agama yang diciptakan untuk menandingi cara-cara dalam syariat, cara ini dianggap memiliki kelebihan untuk beribadah kepada Allah. Definisi ringkasnya, Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ul Fatawa; 18/346 menjelaskan, bidah adalah keyakinan atau ibadah yang menyelisihi al Quran, as Sunah dan ijma’ salaf.”
Dalil umumnya, Rasulullah bersabda,
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak memiliki landasan dari syariat, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)
Dalam banyak pembahasan, yang dinilai bid’ah adalah merayakan “Hari Raya Ketupat”-nya, yang biasa dilaksanakan tujuh hari setelah Iedul Fithri. Dikategorikan bidah karena Umat Islam tidak memiliki hari raya selain Iedul Fithri dan Iedul Adha dan tidak boleh membuat hari raya baru. Akan tetapi, sekadar membuat ketupat pada saat Iedul Fithri atau bahkan Iedul Adha, hanya sebagai salah satu hidangan tanpa menganggap bahwa hal itu disunahkan atau memiliki keutamaan, bukanlah bidah.
Itu hanya tradisi yang mubah karena tidak menyangkut urusan ibadah. Ketupat dan lontong –yang sebenarnya hanyalah nasi yang dibungkus daun- hanyalah salah satu menu dari menu-menu yang biasa ada pada saat hari raya, disamping kue-kue, opor, soto atau yang lainnya..Wallahua’lam. (T. Anwar)
by Wari Wagito
Rahadiyan
0 komentar:
Posting Komentar